Pages

Friday, March 11, 2016

Supersemar di Mata Sejarawan dan Eks Panglima TNI



50 Tahun peristiwa Surat Perintah 11 Maret 1966 Sudah Berlalu (Supersemar). Namun Sampai Saat ini surat yang menjadi awal mula pergantian rezim Presiden Sukarno ke Presiden Soeharto itu, masih menjadi misteri.

Sejarawan dari Lembaga Ilmu dan Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menilai, Supersemar sebagai bentuk upaya kudeta politik. Ia Menyebut peristiwa tersebut masuk dalam insiden yang tidak di rencanakan.

"Prosesnya itu kan proses politik yang dianggap sebagai kudeta merangkak, pengalihan kekuasaan bertahap. Dalam arti kudeta tidak ada perencanaan, tapi mengalir," ujar Asvi dalam sebuah diskusi bertajuk 'Supersemar dari Sukarno ke Soeharto: Peta Kontestasi dan Arah Rekonsiliasi' di kawasan Jalan Wijaya Timur III, Jakarta Selatan, Jumat (11/3/2016).

Menurut Asvi, 5 hari sebelum peristiwa Supersemar, ‎2 pengusaha diminta Alamsyah Prawiranegara untuk bertemu di Istana Bogor, Untuk menemui Mantan Presiden kita Presiden Soekarno. Mereka meminta agar sang Proklamator menyerahkan urusan pemerintahan kepada Jenderal Soeharto.

"Kalau kita lihat, sebelum 11 Maret, 6 Maret ada 2 pengusaha yang dekat dengan Soekarno, diminta Alamsyah Prawiranegara ke Bogor. Mereka di sana menyampaikan, Soekarno tetap presiden tapi urusan sehari-hari ke Jenderal Soeharto," papar dia.

Namun Sukarno murka dengan permintaan tersebut.‎ Lalu terjadi demo besar-besaran yang didukung sejumlah tentara di depan Istana.

Proses negosiasi untuk menandatangani Surat Perintah 11 Maret itu berlangsung cukup alot. Bahkan, disebut-sebut sempat terjadi penodongan senjata kepada Bung Karno. Namun Asvi menyangsikan insiden itu.‎

"Saya tidak percaya ada todongan senjata. Menurut saya, itu tidak mungkin. Tapi yang jelas ada tekanan, sehingga Sukarno memberikan surat tugas itu," jelas Asvi.

Multitafsir

‎Hingga saat ini, kata Asvi, peristiwa Supersemar masih menimbulkan multi-tafsir dan perdebatan di kalangan publik. Perbedaan penafsiran juga terjadi di kalangan keluarga Presiden Soeharto dan Presiden Sukarno.

"Ada perdebatan dan dibantah Soeharto, dikatakan bahwa Supersemar ini hanya untuk pengamanan, hanya menegakkan wibawa pemerintah," ujar dia.

Peristiwa tersebut hingga kini masih menjadi polemik. Menurut Asvi, setidaknya ada 3 hal yang menjadi kontroversi dalam peristiwa Supersemar ini.

"Pertama, yakni teks naskah otentik Supersemar yang belum ketemu hingga kini, kemudian proses penandatanganan yang diduga terdapat unsur penekanan, dan interpretasi mengenai perintah pengamanan, bukan transfer of authority," papar dia.

Saat itu teks asli digandakan oleh Presiden Soedarmono di kantornya. ‎Karena saat itu belum ada teknologi foto kopi, maka penggandaan dilakukan dengan cara diketik ulang. Dia menilai, saat penggandaan sangat mungkin adanya persembunyian sejarah.

"Saat itu diketik ulang (stensil), sangat mungkin 2 halaman jadi 1 halaman, dan tanda tangan Soekarno juga berubah, lokasinya juga berubah dan sebagainya. Bagi orang-orang di sekeliling Soeharto, Supersemar adalah pelimpahan kekuasaan," kata Asvi.

Menurut Asvi, keterangan berbeda juga keluar dari salah satu istri Bung Karno, yakni Dewi Soekarno‎. Dewi saat itu aktif merekonsiliasi dan menghubungi istri Jenderal AH Nasution dan A Yani.

"Ketika itu, ia menganggap Supersemar hanya perintah pengamanan," tutut dia.

Kemudian pada April 1966, Dewi sempat bermain golf dengan Soeharto. Pada pertemuan itu, ‎Soeharto memberikan 3 pilihan kepada Sukarno dan keluarganya. Dari pilihan itu, Dewi baru mengetahui suaminya telah kalah.‎

"Soeharto menawarkan melalui Dewi supaya menyerahkan saja pemerintahan ke Soeharto. Lalu beristirahat ke Tokyo. Dan ketiga istirahat ke Mekkah," pungkas Asvi.


0 comments:

Post a Comment